Lantang tapi tak terdengar, Nasib petani Indonesia
Berapa banyak pihak yang berteriak saat
harga beras, cabai, bawang, gula, daging dan kebutuhan pangan lain
melonjak tinggi? Hal itu sepertinya sudah wajar didengar, dan menjadi
perhatian bagi pemerintah untuk segera menyelesaikan persoalan perut
itu. Media begitu gencar memberitakan menjadi tontonan yang menarik,
menarik karena jadi pusat perhatian dan banyak orang mulai berbicara,
menarik karena banyak pihak telah berhitung akan potensi keuntungan
dengan harga yang membumbung tinggi. Menarik karena bisa digunakan untuk
mengguncang lawan politik, menarik karena dapat digunakan menaikkan
pamor politik. Semua berteriak.
Kebijakan impor akhirnya diambil,
dianggap sebagai pilihan yang paling bijak untuk bisa menurunkan harga.
Teriakan siapa yang paling didengar jika kebijakan ini diambil? impor
beras, impor gula, impor cabai, dan baru-baru ini baru saya baca di
Detik.com impor bawang yang dikirim ke sentra bawang, Brebes. Sebuah
langkah yang sangat konkrit dan menjadi solusi akan kenaikan harga.
Sampai saat ini harga cabai sudah mulai stabil kisaran Rp.8.000 sampai
Rp.10.000/kg untuk cabai merah besar, harga bawang merah pun demikian.
Oke persoalan berangsur mulai terselesaikan, teriakan konsumen begitu
kencang terdengar.
Karena para pemuda Indonesia (bisa jadi
termasuk saya) sudah mulai enggan menaikki sapi saat bermain dengan
teman-teman dan mulai suka naik “bebek” (motor bebek) produksi sapi
diasumsikan tidak dapat mencukupi kebutuhan daging nasional. Lalu karena
banyak ditayangkan di TV sebagai tokoh yang macho, keren, gentle
sebagai Cow Boy ( Anak gembala), sepertinya pemuda Australia lebih suka
pelihara sapi (hehehe, kayaknya ga segitunya) dan sudah terlalu banyak
makanya dikirimkan ke Indonesia. Harga daging sapi sepertinya stabil,
stabil mahalnya karena memang mahal buat ukuran saya dan keluarga. Namun
anehnya, dengan harga daging yang masih cukup tinggi, tapi kenapa harga
sapi yang dipelihara dengan naik “bebek” serta nge-wall di FB saat mau cari rumput oleh peternak Indonesia begitu rendah?
Demikian pula yang terjadi dengan beras dan gula,
selama ini yang dijadikan tersangka
adalah ada pihak yang berperan memainkan harga pasar. Untuk beras dan
gula masih mungkin terjadi karena masih bisa disimpan relatif lama.
Bawang pun masih bisa, kalau cabai saya selalu berfikir bagaimana cara
menimbun cabai dalam jumlah besar dan baru saya jual saat harga
tinggi,tapi rasanya sangat sulit bisa bertahan lama ya? kemudian jika
ada penimbun, karena profesionalitas Dinas Perdagangan, saya rasa akan
bisa terungkap dalam waktu yang cepat. Lalu apa yang menyebabkan harga
melambung tinggi? apakah ada pihak yang begitu diuntungkan secara
ekonomi dengan keadaan ini?
Yang saya tahu dengan mengamati sekitar
dan beberapa berita di media untuk Cabai dan beras adalah produksi yang
rendah. Cuaca ekstrim menyebabkan produktivitas cabai sepanjang 2010
rata-rata 30% dari produksi normal/ha karena serangan penyakit begitu
tinggi. Demikian pula dengan padi, serangan wereng coklat menghapus
banyak mimpi dari keluarga petani. Karena stok barang tidak sebanding
dengan permintaan yang menyebabkan harga melonjak begitu tinggi. Lalu apakah petani menjadi pihak yang sangat diuntungkan dengan keadaan ini? saya rasa tidak, apalagi dengan adanya kebijakan pemerintah menurunkan harga komoditas tersebut.
Kenapa? hitung saja penurunan
produktivitasnya, lalu dengan cuaca ekstrim kebutuhan pupuk, pestisida,
dan tenaga kerja menjadi berlipat-lipat. Kenaikan harga yang dinikmati
petani itu hanya sebatas bisa mengembalikan modal yang telah
dikeluarkan. Lalu apa yang terjadi dengan jika harga-harga tersebut
diturunkan karena kebijakan pemerintah? Petani akan berteriak
(seharusnya), tapi kebanyakan petani adalah orang-orang yang nrimo, selalu
bersyukur dengan apa yang sudah Gusti Allah anugerahkan, bukan
orang-orang tamak, tapi ini tidak semua, jadi teriak lantang sebatas
teriak, atau kah memang tidak ada yang mau mendengar?
Sebenarnya apa yang terjadi dengan kita?
banyak orang menghabiskan pulsa untuk FB, download film, dan hal-hal
lainnya mereka/kita tidak memikirkan harganya, tapi memberikan harga
lebih untuk komoditas pertanian Indonesia karena memang dibutuhkan
sebagian dari bangsa kita yang lain, kita berteriak lantang agar
diturunkan harganya.
Jika biaya masuk bahan pangan bisa
dikurangi atau pun dibebaskan, tapi kenapa untuk pupuk, pestisida,
sarana kebutuhan pertanian untuk meningkatkan produktivitas petani tidak
diperlakukan yang sama? bahkan untuk beberapa pupuk dan pestisida impor
(yang diyakini, termasuk saya yakini) lebih bagus kualitasnya naik
hingga 20 %. Sebenarnya petani pun berteriak, lantang, tapi di ladang.
Jika teriak di sawah/ladang/kebun siapa yang akan mendengar? wakil
rakyat mana mau datang menyamar menjadi kuli sawah untuk mendengar
keluhan petani?
memang nasib, bukan untuk dikasihani,
tapi memang sudah haknya menjadi prioritas bagi kebijakan pemerintah
untuk melindungi rakyatnya. Jadikan produktif dengan dukungan alat dan
teknologi yang murah, agar menghasilkan pangan yang murah juga. Dan
janganlah memperparah kehancuran dengan menghancurkan harga hasil panen
petani Indonesia.
-Bertani itu Keren-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar