Pages

Kamis, 14 Agustus 2014

RENUNGAN UNTUK PEMERINTAH DAN MASYARAKAT

Nasib Buruh di Indonesia

 

 Tinjauan Kondisi Ketenagakerjaan di Indonesia
Peranan pemerintah dalam menangani tekanan upah buruh sangat krusial, di satu sisi pemerintah berkewajiban menyediakan sistem pengaman atau jaring sosial yang efektif untuk menjamin tidak ada buruh yang terjatuh dan diabaikan hak-hak hidup layaknya, disisi lain pemerintah harus realistis bahwa akibat krisis dan sebab yang lain yang lebih bersifat struktural dan kultural, bagi sebagian pengusaha situasi yang dihadapi masih belum kondusif untuk memberikan balas jasa pekerjaan yang layak. Yang dapat dilakukan pemerintah adalah terus mendorong dialog yang cerdas antara pihak buruh dan pengusaha untuk mencapai konsensus dalam penetapan upah buruh. Pemerintah juga memiliki kewajiban moral untuk menyediakan acuan normatif dalam penetapan upah layak yang berbasis empiris serta memperoleh pengakuan sepenuhnya dari pihak buruh dan pengusaha.


Krisis ekonomi yang berlangsung mulai pertengahan tahun 1997 mengakibatkan perubahan struktural kinerja perekenomian dan pasar kerja di Indonesia. Pada puncak krisis (1998), perekonomian Indonesia mengalami kontraksi yang luar biasa sebagaimana ditunjukan oleh pertumbuhan ekonomi yang mencapai minus 13,1 persen. Pasar kerja juga mengalami perubahan drastis, hanya dalam setahun [1997-1998] sektor bukan pertanian berkurang lebih dari 2,5 juta jiwa, sementara sektor pertanian bertambah lebih dari 4,3 juta jiwa, padahal dalam kurun sebelumnya (1990-1997) telah berkurang sekitar 6,7 juta jiwa. Peralihan tenaga kerja ke sektor pertanian selama krisis memperlihatkan kelenturan atau fleksibilitas pasar tenaga kerja.

Dampak negatif krisis yang mencolok terjadi pada sektor industri dan konstruksi. Pada kedua sektor tersebut, PDB turun masing-masing 11,4 dan 36,4 persen, sementara tenaga kerja berkurang masing-masing sekitar 1 juta dan 600 ribu orang. Berkurangnya permintaan tenaga kerja di sektor bukan pertanian, memaksa sektor pertanian, sektor yang pada periode non-oil boom diperlemah, untuk menjadi sektor andalan dalam menampung tenaga kerja yang kehilangan peluang bekerja di sektor bukan pertanian.
Peran strategis tersebut tampaknya masih akan diperankan oleh sektor pertanian, sekalipun mulai tampak gejala pemulihan sektor lainnya secara bertahap. Secara absolut, tenaga kerja di sektor pertanian masih bertambah, tetapi tenaga kerja di sektor bukan pertanian juga bertambah hampir dua kali lipat. Utamanya tenaga kerja yang berstatus sebagai buruh, pertumbuhannya jauh lebih cepat dari pada pertumbuhan tenaga kerja secara keseluruhan.
Dalam pasar kerja Indonesia terdapat semacam mismatch antara lulusan pendidikan dan dunia kerja. Hal ini dapat dilihat dari kenaikan indeks upah tenaga terdidik (di atas SLTA) antar tahun, relatif terhadap tenaga kerja tak terdidik (di bawah SD), terutama dalam dua tahun terakhir. Hal tersebut mengindikasikan : a) permintaan terhadap tenaga kerja terdidik lebih cepat dari pada permintaan terhadap total tenaga kerja secara keseluruhan, b) permintaan tenaga kerja terdidik lebih cepat dari pada penawaran tenaga kerja terdidik, dan c) dua-duanya. Implikasinya antara lain, ketimpangan upah meningkat, permintaan dan kelangkaan tenaga kerja tidak terpenuhi, dan mengherankan adalah angka
penganggur terdidik, sebagaimana disinggung sebelumnya, relatif tinggi terutama di daerah perkotaan.
Aspek lain mengenai upah buruh yang perlu dicermati adalah bahwa perbedaan tingkat upah antara pekerja formal dan informal cenderung melebar sejak kuartal pertama tahun 2000. Gejala ini tampaknya menyerupai pola Amerika Latin, suatu gejala yang tidak menguntungkan bagi kepentingan pekerja secara keseluruhan.
Sampai era tahun 1980-an, para analis ketenagakerjaan yang kritis pada umumnya menganggap penganggur bukan masalah ketenagakerjaan yang serius. Argumennya adalah karena, pekerjaan cenderung dikerjakan bersama dan menganggur dianggap sebagai barang mewah yang hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang. Hal itu ditunjang oleh bukti historis, antara lain, sampai era 1980-an angka pengangguran terbuka masih sekitar dua persen dari total angkatan kerja. Karena masalahnya dianggap kecil, maka tidaklah mengherankan jika saran penyelesaiannya tampak sederhana.
Tetapi berbeda dengan keadaan 1980-1n, angka penganggur, sebagai salah satu besarnya masalah ketenagakerjaan di Indonesia, sudah relatif tinggi, bahkan dalam standar internasional. Tidaklah berlebihan bahwa masalah pengangguran kini sudah mencapai titik yang mengkhawatirkan, sebagaimana dikemukakan oleh seorang pengamat ekonomi melalui suatu harian terkemuka (Kompas, Juli 2003). Sebagai argumen, pengamat itu mengemukakan angka penganggur yang fantastis, sekitar 18 juta orang, suatu angka yang jauh di atas angka resmi.
Pada tahun 1997, angka pengangguran sudah mencapai 4,2 juta atau 4,7 persen dari angkatan kerja. Angka itu cenderung terus naik, sehingga pada tahun 2002 menjadi 9,13 juta atau 9,1 persen dari total angkatan kerja. Angka itu masih jauh lebih tinggi dari yang diharapkan Propenas (5,1 persen) dan lebih tinggi dari pada angka pengangguran untuk tahun 1998, yaitu ketika krisis sedang mencapai puncaknya (hanya 5,5 persen). Kenaikan itu mengindikasikan semakin buruknya masalah ketenagakerjaan di Indonesia. Masalah setengah penganggur juga tidak dapat diabaikan, terutama jika fokusnya diarahkan pada daerah pedesaan. Total pekerja yang berkategori setengah penganggur pada tahun 2002 berjumlah 12,0 juta jiwa atau 13,1 persen dari total penduduk yang bekerja.
Hasil proyeksi menunjukkan jumlah penduduk tahun 2009 mencapai 228,9 juta jiwa, sekitar 168,9 juta jiwa atau 73,7 persen diataranya adalah penduduk usia kerja. Sekitar 116,5 juta jiwa atau 69,0 persen dari penduduk usia kerja diproyeksikan akan memasuki pasar kerja, suatu jumlah yang sangat menakutkan melihat kemampuan ekonomi nasional yang sampai kini belum jelas benar arahnya. Angkatan kerja yang menganggur diperkirakan akan berkurang mulai tahun 2006, sehingga pada tahun 2009 jumlahnya akan mencapai sekitar 7,5 juta jiwa atau 5,5 persen dari angkatan kerja.
ASPEK (Asosiasi Serikat Pekerja) Indonesia memberikan perhatian terhadap evaluasi akhir tahun 2005 diantaranya :
1.Penundaan berlakunya UU No 2 Tahun 2004 tentang PPHI dengan Perppu No.1/2005, menunjukkan ketidaksiapan Pemerintah untuk melaksanakan Peradilan Hubungan Industrial yang diamanatkan oleh UU No.2/2004, baik personil / petugas PHI maupun sarana/prasarana penunjang, padahal Pemerintah di era Menakertrans RI saat itu Sdr Jacob Nuwawea mendesak untuk segera disahkan oleh DPR RI.
2.Maraknya sistem kerja kontrak dan outsourcing yang menimbulkan kondisi ketidakpastian dalam bekerja (karier tidak jelas , status tidak jelas, tidak adanya jaminan keberlangsungan bekerja, upah rendah, PHK semenamena, anti serikat pekerja dll) karena kebijakan Pemerintah yang Ramah Investasi, dengan melegalisasi sistem Pekerja Kontrak dan Outsourcing yang merupakan bentuk baru perbudakan di jaman modern / new slavery karena jenis perjanjiannya yang sangat merugikan pekerja oleh perusahaan-perusahaan penyedia jasa tenaga kerja.
3.Pemberlakuan UMP murah yang makin menyengsarakan kehidupan tenaga kerja dan kebijakan pemerintah dalam menaikkan harga BBM tanpa disertai kebijakan dan pemberian insentif kepada kehidupan dan perlindungan bagi para pekerja.
4.Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI yang tidak ramah terhadap para pekerja (Fahmi Indris – yang mengeluarkan Surat. No.B.600/Men/SJ-HK/VIII/2005 yang dinilai menghilangkan hak pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas uang penggantian perumahan, pengobatan dan perawatan sebagaimana diatur dalam pasal 156 ayat (4) UUK No.13/2003 dan Permenakertrans RI No.Per-17/MEN/VIII/2005 ttg Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian KHL, yang mengurangi kualitas 3 komponen yaitu : beras dari 12 kg menjadi 10 kg, sewa kamar untuk 2 orang dari sewa rumah type 21, cukur menjadi 2 bulan 1 x dari 1 bulan 1 x, serta pernyataan Fahmi Idris Menakertrans RI saat itu di bulan Oktober 2005 saat menghadiri MOU antara Jamsostek dengan APINDO tentang angka pengangguran yang bisa mencapai 1-2 juta orang untuk tahun 2006 tanpa memberikan opsi dan program untuk mengatasinya serta pernyataan yang sama dari Menakertrans RIErman Suparno saat meresmikan program padat karya di Garut Jawa Barat tgl 19 Des 2005 yang juga menyatakan angka pengangguran akan membengkak di tahun 2006 )
5.Kurangnya penegakan hukum / law enforcement oleh Pemerintah, dalam hal ini Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi atas UU No. 21/2000 tentang SP/SB yang memberikan jaminan kebebasan bagi semua pekerja untuk mendirikan, bergabung, menjalankan, organisasi serikat pekerja, yaitu dengan maraknya tindakan anti serikat pekerja/ union busting/ anti union policy yang diterapkan oleh pihak Pengusaha/Manajemen, dengan tindakan PHK, mutasi dan intimidasi serta kriminalisasi terhadap anggota dan para pengurus serikat pekerja ( Adi Lazuardi – Sukiman Anwar / SP Antara, Ibrahim / SP Metrodata, Ari / SP UFJ dll ), serta dengan tindakan membuat organisasi tandingan berupa “yellow union”, paguyuban dll.

Masalah dalam UUK No. 13 Tahun 2003
Masalah yang pokok dalam UU Ketenagakerjaan adalah menghilangkan jaminan hak atas pekerjaan, melegalisasikan praktik-praktik sistem kerja kontrak ilegal dan outsourcing, melepaskan tanggung jawab dan kewajiban negara untuk melindungi buruh dan mempertahankan hak atas pekerjaannya, mengebiri serikat buruh dan meligitimasi kebijakan upah murah intinya substansi isi UUK ini sangat merugikan dan tidak berpihak pada kaum buruh, sehingga dampaknya sangat nyata dirasakan oleh kaum buruh dan keluarganya begitu buruk dan menyengsarakan. Sebagaimana kita saksikan semenjak di berlakukan UUK gelombang PHK massal terjadi dimana-mana dengan tanpa pesangon, ataupun dalam rangka menggantikan buruh tetap/permanen menjadi buruh kontrak, semua perusahaan ramai-ramai tidak lagi menerima buruh tetap semuanya sebagai buruh kontrak ataupun outsourcing demi menghindari berbagai kewajiban pengusaha dalam pemenuhan hak-hak buruh (upah yang layak, jaminan sosial, pesangon, THR) dan masih banyak lagi deretan peristiwa yang menjelaskan paraktek-praktek yang membuat kaum buruh ditindas dan dihisap (eksploitasi) baik yang terang-terangan ataupun yang terselubung yang dilakukan oleh pemodal /pengusaha dan rezim anti buruh atas nama hukum UU No.13 Tahun 2003 yang nyata-nyata adalah produk rezim anti buruh, anti rakyat sebagai jalan untuk melapangkan kepentingan modal asing yang dipaksakan.
Pasal-pasal yang DIREVISI dalam UUK No13 Tahun 2003 yang sangat merugikan kaum buruh diantaranya :

1. Buruh Kontrak dan Outsourcing
Diterapkannya kebijakan Labour Market Flexibility [LMF] melalui dilegalkannya sistem kerja kontrak dan Outsourcing lewat UUK No. 13 Tahun 2003 jelas membuat posisi kaum buruh semakin lemah, dimana tidak ada kepastian kerja, kepastian upah, jaminan sosial, THR dan tujang-tunjangan kesejahteraan lainnya. Konsep Outsorcing yang tidak memberikan batasan apapun, sehingga berdampak pada bahwa kaum buruh bebas diperjualbelikan dengan cara apapun layaknya budak dijaman perbudakan oleh pemerintahnya sendiri, sungguh ini perlakuan dan kebijakan yang keji yang merendahkan harkat-martabat kaum buruh. Maka layak kaum buruh marah dan melawan kebijakan ini.
Untuk sitem kerja kontrak [PKWT] dalam revisi UUK ini lebih buruk dimana penerapan sitem kerja kontrak ini tidak lagi memberikan syarat-syarat dan batasan yaitu dinyatakan bahwa semua jenis pekerjaan boleh menggunakan sistem kerja kontrak begitupun dengan waktu/lamanya masa kontrak dijadikan 5 [lima] tahun, sehingga akan menambah ketidak pastian bagi kaum buruh.
Maka jika pasal ini gol; sudah bisa dipastikan akan terjadi gelombang PHK besar-besaran dan semua buruh akan dialihkan statusnya dari buruh tetap menjadi semuanya buruh kontrak ataupun outsourcing.

2. Upah
Dalam revisi dinyatakan bahwa untuk penetapan Upah Minimum [UMK/UMP] ditetapkan berdasarkan kemampuan sektor usaha yang paling lemah/marginal dan pemerintah mengambil posisi bahwa Upah Minimum hanyalah sebagai jaring pengaman saja. Selain itu penentuan kenaikan Upah Minimum[UMK/P] pun disesuaikan setiap 2 [dua] tahun sekali.
Sehingga dengan kebijkaan ini sudah dapat dipastikan bagi rata-rata perusahaan menengah dan besar akan menggunakan alasan hukum ini untuk membayar upah buruhnya dengan upah yang murah padahal kemampuan si perusahaan tersebut untuk membayar upah minum sudah jauh melebihi dari ketentuan yang ada. Maka jelas kebijakan ini adalah menempatkan buruh untuk miskin selama-lamanya sehingga tidak bisa hidup layak, maka kebijakan ini menegaskan pemerintah SBY-JK adalah rezim pencipta Upah Murah dan anti buruh.

3. Cuti
Dalam revisinya pemerintah menghilangkan mengenai hak Cuti panjang bagi buruh. Dimana dalam UU sebelumnya bahwa bagi buruh yang sudah memiliki masa kerja selama 6 tahun secara terus menerus berhak mendapatkan cuti panjang selama 1 bulan sebagaimana yang berbunyi ; Istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 bulan dan dilaksankan pada tahun ke 7 dan ke 8 masing-masing 1 bulan bagi buruh yang telah bekerja selama 6 tahun terus menerus pada perusahaan yang sama. Sedangkan dalam Revisi UUK hal tersebut dihapus.

4. Jaminan Sosial
Dengan diterapkannya sistem kerja Kontrak dan Outsourcing yang sedemikian buruk dampaknya bagi buruh, maka dipastikan kaum buruh dan keluarganya tidak akan lagi mendapatkan jaminan sosial karena posisi tawar buruh semakin lemah apalagi apabila dilihat dengan jumlah angka pengangguran di negara kita yang sangat tinggi sementara kesempatan/lapangan kerja tambah sempit. Disini dipastikan bahwa banyak buruh yang kemudian menerima begitu saja jika upahnya dibayar dibawah ketentuan UMK [upah murah], tidak diberikan cuti haid dan tahunan, tidak diikutsertakan dalam program jamsostek maupun pemenuhan hak-hak normatif lainnya. Selain itu ukuran kesejahteraan yang harus diterima buruh hanya sebatas kebutuhan buruh dan yang paling penting adalah pemberian kesejahteraan itu harus sesuai dengan kemampuan perusahaan dan teknisnya lagi-lagi diserahkan pada peraturan pemerintah dan peraturan perusahaan.

5. PHK dan Uang Pesangon
Dalam revisi UUK, masalah PHK semakin dipermudah, bahkan kebiijakan mengenai pemberian uang pesangon bagi buruh yang ter-PHK ditentukan maksimal sampai 7 bulan upah, termasuk jika perusahaan melakukan PHK karena alasan efisiensi, dan mengenai uang penghargaan masa kerja diberikan hanya bagi buruh yang sudah memiliki masa kerja diatas 5 tahun atau lebih dengan batas maksimal pemberian uang penghargaan masa kerja sebesar 6 bulan upah. Yang lebih biadab lagi jika perusahaan tutup karena alasan Force Majour, maka buruh tidak berhak mendapatkan uang pesangon yang artinya perusahaan terbebas dari kewajibannya untuk membayar pesangon dan hak buruh lainnya.
Selain itu buruh yang berhak mendapatkan pesangon adalah hanya bagi buruh yang upahnya lebih rendah atau sama dengan Pendapatan Tidak Kena Pajak [PTKP] kira-kira sebesar 1 juta, yang artinya bahwa bagi buruh/pekerja yang menerima upah diatas PTKP [1 juta lebih] tidak berhak mendapatkan uang pesangon. Maka sangat jelas bagi buruh dan golongan Midllla Managemen seperti Kepala Regu, Supervisor, Kepala Bagian, Kepala Seksi Foreman, Personalia sampai pada direksi dan komisaris dll tidak diatur lagi dalam draff Revisi UUK ini, alias GRATIS!!! Dan mereka ini dianggap bukan buruh lagi.

6. Kesalahan Berat dan Skorsing [pasal 158 UUK No 13 Tahun 2003]
Dalam keputusan hasil Judicial Review di Mahkamah konstitusi Pasal 158 yang mengatur tentang kesalahan berat dan skorsing ini telah dibatalkan/dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum tetap. Tetapi oleh rezim BONEKA yang BEBAL ini di hidupkan kembali dengan memperbolehkan pengusaha untuk melakukan skorsing dengan membayar upah buruh sebesar 50 persen.

7. Kebebasan Berserikat
Di satu sisi buruh diperbolehkan berorgansiasi bahkan dipermudah dengan 10 orang buruh boleh membentuk organisasi buruh/Serikat buruh, tapi tidak ada jaminan perlindungan bagi buruh yang mengikuti kegiatan serikat buruh/berorganisasi. Dilain pihak dengan sistem kerja kontrak dan outsourcing sudah dipastikan buruh takut untuk masuk/membentuk serikat buruh karena takut tidak diperpanjang masa kontraknya. Padahal Serikat buruh adalah alat yang mutlak dibutuhkan oleh buruh untuk memperjuangkan hak dan kepentingannya serta untuk membentengi diri kaum buruh dari perlakuan buruk pengusaha. Belum lagi mandulnya penegakan hukum dari aparat pemerintah akibat korup [KKN] dimana kasus-kasus pidana yang dilakukan pengusaha yang melakukan tindakan menghalang-halangi hak kebebasan berserikat yang telah dilaporkan kepada polisi dan Depnaker tidak ada yang ditindaklanjuti, disini semakin meneguhkan bahwa pemerintah dan pengusaha sama saja.

8. Mogok Kerja
Mogok kerja adalah hak buruh dan serikat buruh, tapi dalam UUK ini dipertegas adanya sikap pengekangan terhadap hak mogok serta adanya syarat-syarat dengan adanya sangsi PHK dan atau ganti rugi. Selain itu pemogokan di UUK ini hanya diperbolehkan ketika gagal perundingan dan ditujukan pada majikan saja dan tuntutannyapun terbatas hanya mengenai soal-soal ditempat kerja [ekonomis] belaka. Sedangkan untuk pemogokan masalah politik, seperti penolakan terhadap Undang-undang, kenaikan BBM, TDL, pemogokan solidaritas bagi buruh atau serikat buruh lain itu tidak dikenal yang intinya tidak diperbolehkan.
Padahal membatasi pemogokan hanya pada pemogokan soal ekonomi semata adalah merupakan sikap pengingkaran sekaligus pengebirian terhadap berbagai kovenasi ILO dan juga riwayat perjuangan serikat buruh Indonesia.

9. Tenaga Kerja Asing
Dalam jumlah rakyat Indonesia yang menganggur telah mencapai angka 42 juta, sementara lapangan kerja yang semakin sulit, maka sudah seharusnya pemerintah dalam setiap program dan menerbitkan peraturan/UU memperioritaskan kepentingan dan hak rakyatnya untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Tapi dalam revisi UUK ini pemerintah lewat UUK 13 Thn 2003 malah memberikan kelonggaran yang sangat luas bagi Tenaga Kerja Asing [Ekspatriat] untuk bekerja di Indonesia dan bersaing dipasar tenaga kerja dengan rakyat Indonesia yang tingkat keterampilan dan pendidikannya sudah dipastikan rata-rata jauh di bawah Tenaga Kerja Asing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar